————————————————————————————
DARI beratus-ratus sukubangsa yang terdapat di Indonesia sukubangsa Sunda (Sundanese) tercatat sebagai sukubangsa terbesar kedua di Indonesia setelah Jawa (Javanese). — Apakah dan siapakah sebenarnya yang disebut sebagai sukubangsa SUNDA tersebut ?
Dalam pengertian ringkas dan sederhana, yang disebut sebagai Sukubangsa Sunda, atau biasa disebut juga Orang Sunda itu adalah : Kelompok sukubangsa di Indonesia, tepatnya yang berasal dari kawasan pulau Jawa sebelah barat (meliputi Jawa Barat, Banten, Jakarta dan sebagian Jawa Tengah bagian barat), yang dalam kesehariannya berbudaya dan berbahasa Sunda secara turun-temurun. — Dalam hal ini Orang Sunda sendiri (dalam bahasa Sunda) biasa menyebut kelompok dirinya secara etnis sebagai Urang Sunda (= Orang Sunda).
Secara etno-antropologis sukubangsa Sunda termasuk ke dalam rumpun bangsa Austronesia, dari tipe Melayu muda (Deutero-Melayu). Menurut catatan beberapa tahun yang lalu (tahun 2000) jumlah sukubangsa Sunda itu tercatat sekitar 30-an juta jiwa lebih, namun kini kemungkinan besar makin bertambah banyak.
Wilayah utama orang Sunda masa kini terutama (mayoritas) di kawasan provinsi Jawa Barat dan Banten, dengan berbagai kekhasannya masing-masing yang cukup beragam. Yang lainnya (di Jakarta dan sebagian Jawa tengah bagian barat boleh dibilang sebagai minoritas yang tersebar secara tidak merata). — Di luar itu bila dikaitkan dengan adanya program transmigrasi (yang biasanya di tempat/kantong-kantong transmigrasi tersebut mereka masih tetap berbahasa dan berbudaya Sunda antar sesamanya) ada juga yang hidup di kawasan transmigrasi di luar pulau (seperti di Sumatra, terutama di Lampung, dan wilayah Indonesia lainnya di luar Pulau Jawa).
Berdasarkan atas wilayah utama yang ditempatinya, sukubangsa Sunda pada dasarnya terbagi dalam beberapa bagian, yakni : Sunda Jawa Barat (meliputi Sunda Cirebon, Sunda Priangan, Sunda Bogor, dan sebagainya, yang seluruhnya dapat disebut sebagai Sunda Parahiangan), Sunda-Banten (yang meliputi Sunda-Baduy), Sunda Jakarta atau Sunda Sundakalapa, dan juga Sunda Jawa Tengah.
SEBAGAI SUATU CATATAN : Dengan berbagai sebab tertentu penduduk Jawa Barat dan Banten pada kenyataannya tidak seluruhnya berbahasa Sunda (atau tidak sepenuhnya terdiri dari orang Sunda semata); misalnya di sebagian wilayah Cirebon (Jawa Barat), selain terdapat Sunda Cirebon juga terdapat Jawa Cirebon (Jawa asli yang berasal dari Jateng dan Jatim, atau mungkin Sunda asli dan campuran Sunda dengan Jawa namun berbahasa dialek Jawa Cirebon, yang dalam istilah Sunda biasa dikenal sebagai Jawaréh atau Sunda-Jawaréh, singkatan dari Jawa-sawaréh (= Jawa sebagian); atau Jawa-sawaréh Sunda sawaréh (= Jawa sebagian Sunda sebagian), dengan dialek bahasa Jawa bervokal A. Lalu di luar itu (sebagai bandingan) di sebagian wilayah Serang (Banten) pun selain terdapat Sunda Banten (secara mayoritas) juga terdapat Jawa Banten (secara minoritas, yang biasa disebut sebagai Jawa-réang, dengan dialek bahasa Jawa bervokal Eu). Sebaliknya di Jawa Tengah bagian barat (seperti di kawasan Brebes, Cilacap dan sekitarnya) sebagai peninggalan sejarah masa lalu terdapat Sunda Jawa Tengah bagian barat(sebagai minoritas) di samping tentu saja ada Jawa Jawa Tengah bagian barat (sebagai mayoritas pada masa kini yang secara umum berbahasa dialek Jawa bervokal A disamping bervokal O yang datang dari Jawa Tengah bagian timur).
Sementara di Jakarta secara rekonstruktif historis (dengan sebutan Sunda Jakarta yang dulu disebut Sunda Kalapa) budaya dan bahasa Sunda itu secara mendasar hanya termasuk pernah ada (mungkin dalam bentuk seperti bahasa Sunda di kawasan Bogor dan Bekasi), namun kini boleh dikatakan telah punah/menghilang digantikan oleh budaya dan bahasa dialek Melayu Betawi yang datang belakangan)* walaupun di kawasan bagian Timur yang berbatasan dengan Bogor Jawa Barat serta di bagian barat dan selatan yang berbatasan dengan Tanggerang Banten (sebagai masyarakat pinggiran) mungkin saja masih terdapat segelintir orang yang tetap menggunakan bahasa Sunda antar sesamanya dalam kehidupan sehari-harinya. Melayu Betawi sebagai bahasa bukan Sunda (yang biasa digunakan di Jakarta) di kawasan Jawa Barat biasa digunakan pula di sebagian wilayah Depok dan Bekasi yang berbatasan langsung dengan Jakarta.
Dari kaitan latar belakang seperti diuraikan di atas, maka manakala Kita berbicara tentang Sunda secara luas dan mendasar (selain membicarakan Jawa Barat sebagai bagian utamanya) sudah barang tentu dan selayaknya kita pun harus membicarakan pula tentang Banten, Jakarta dan sebagian Jawa Tengah bagian barat yang di dalamnya secara historis dan rekonstruktif terdapat unsur Sunda, yang secara mendasar tak dapat dipisahkan dengan begitu saja (karena secara etno-geografis itu tadi di situlah orang Sunda selama ini berada dari dulu hingga kini).
Dulu pada zaman Pra-NKRI (sebelum menyatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama pada zaman negara kerajaan lokal di Nusantara) Sunda itu disebut sebagai bangsa; dalam hal ini pada bahasa istilah atau sebutan tempo dulu tak jarang disebut sebagai Bangsa Sunda, di samping ada Bangsa Jawa, Bangsa Melayu, Bangsa Batak, Bangsa Minang, Bangsa Bugis dan Makasar, Bangsa Papua, dan sebagainya. — Kadang dalam kehidupan sehari-hari ada sebutan Bangsa Urang (= Bangsa Kita), sebutan ini secara kontekstual kini tertuju kepada 2 hal : (1) Bila sedang berbicara tentang Sunda sendiri hal ini tertuju kepada “Kita” sebagai Orang Sunda atau Sukubangsa Sunda, namun (2) Bila sedang berbicara tentang Indonesia hal ini tertuju kepada “Kita” sebagai Orang Indonesia atau Bangsa Indonesia,
-----------------------------------------------
CATATAN KAKI :
)* Tentang “Orang dan bahasa Sunda Kalapa” Muhadjir (dalam buku karyanya Bahasa Betawi; Yayasan Obor Indonesia; Jakarta: 2000; hal 38), menyatakan bahwa : Sebagai bagian dari kerajaan Sunda tentunya bahasa yang dipakai di Kalapa ini adalah bahasa Sunda. Sedangkan masyarakat Betawi yang dikenal sekarang baru terbentuk pada masa abad ke-19, yaitu dengan berdasarkan pada gejala bahwa pada abad tersebut suku-suku pendatang — sebagai cikal bakal ‘suku’ Betawi—mulai luntur identitas suku asalnya dan kemudian menjadi identitas campuran dari berbagai suku pendatang, yang pada masa selanjutnya disebut ‘suku’ Betawi (Heuken, 1997:311).
————————————————————————————
Tidak ada komentar:
Posting Komentar